Gagap adalah suatu gangguan bicara di mana aliran bicara terganggu tanpa disadari oleh pengulangan dan pemanjangan suara, suku kata, kata, atau frasa; serta jeda atau hambatan tak disadari yang mengakibatkan gagalnya produksi suara. Umumnya, gagap bukan disebabkan oleh proses fisik produksi suara (lihat gangguan suara) atau proses penerjemahan pikiran menjadi kata (lihat disleksia). Gagap juga tak berhubungan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Di luar kegagapannya, orang yang gagap umumnya normal.
Gangguan ini juga bersifat variabel, yang berarti bahwa pada situasi tertentu, seperti berbicara melalui telpon, tingkat kegagapan dapat meningkat atau menurun. Walaupun penyebab utama gagap tidak diketahui, faktor genetik dan neurofisiologi diduga berperan atas timbulnya gangguan ini. Banyak teknik terapi bicara yang dapat meningkatkan kefasihan bicara pada beberapa orang.
Salah satu teknik terbaru dalam penyembuhan ini adalah dengan pijat syaraf bicara di sekitar wajah, mulut dan leher seseorang yang gagap. Seseorang yang gagap mempunyai kecenderungan untuk tidak berbicara dalam kesehariannya. Hal ini menyebabkan otot dan syaraf bicaranya menjadi kaku, sehingga mulut menjadi lebih sulit digerakkan.
Setelah otot dan syaraf gagap lentur karena dipijat, barulah sang gagaap ini diberikan terapi bicara sesuai dengan usianya. Tentu saja terapi bicara bagi anak, berbeda dengan terapi bicara anak-anak. Bagi seseorang yang menderita gagap karena genetika, disarankan untuk selalu memijat syaraf ini setiap hari.
Penyebab Gagap
Gagap bisa disebabkan oleh faktor fisik maupun psikologis. Penyebab fisik yaitu kemungkinan berasal dari keturunan yang menyebabkan ketidaksempurnaan secara fisik seperti gangguan pada syaraf bicara, gangguan alat bicara, keterbatasan lidah. Penyebab psikologis yaitu ketegangan yang berasal dari reaksi seseorang terhadap lingkungannya, stress mental karena sesuatu yang dirasakan tidak dapat dilakukannya.
Menurut penelitian, gagap lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dibanding fisiologis. Trauma, ketakutan, kecemasan, dan kesedihan pada masa kecil bisa menyebabkan seseorang menjadi gagap sampai dewasa. Misalnya, anak yang kedua orang tuanya sering bertengkar, sehingga membuat anak takut, cemas, sedih, dan sering menangis. Cara bicara yang gagap ketika menangis bisa menjadi "kebiasaan" sampai dewasa.
Pengalaman kami membantu klien yang gagap lumayan banyak. Sehingga wajar apabila kami sama sekali tidak meragukan kemampuan kami untuk membantu klien yang menderita gagap. Bahkan kami memberi garansi kembali kepada setiap klien. Sebab itu, bagi Anda yang mengalami gagap dan sudah mencoba banyak cara untuk menghilangkan gagap tapi belum berhasil, bisa mencoba metode teknik penyembuhan gagap dengan hipnoterapi yang kami kembangkan.
Jenis-jenis gagap menurut fasenya.
·Gagap Perkembangan - Terjadi biasanya pada usia 2-4 tahun. Kondisi ini tergolong wajar, karena merupakan rangkaian proses perkembangan bicara sang anak. Hal ini bisa saja terjadi karena ketidaksinkronan emosi anak dengan pengaturan alat bicara saat berbicara. Gagap perkembangan biasanya akan sembuh dengan sendirinya seiring bertambahnya usia anak
·Gagap Sementara - Anak berusia sekitar 5-8 tahun juga dapat mengalami gagap ini, karena faktor psikologis dari lingkungan, misal kecemasan, kepanikan, ketakutan. Jenis gagap ini akan lenyap sendiri meskipun tanpa terapi tertentu. Sebagai orang tua, kita hanya perlu bersabar dan jangan memarahi anak ketika menunjukkan gejala gagap.
·Gagap Menetap - Problem gagap ini biasanya dari usia 8 tahun sampai dewasa, bahkan sampai usia lanjut. Bila Sementara ini tidak disembuhkan tuntas, biasanya akan berlanjut sampai dewasa/tua. Penyebab masalahnya biasanya disebabkan oleh faktor psikologis, misalnya stress, kecemasan berlebihan, takut salah bicara, merasa rendah diri, merasa suaranya kurang enak didengar, merasa tidak percaya diri, dll.
Tanda-Tanda Awal Umumnya tanda-tanda awal kegagapan terlihat pada usia dua tahun atau pada saat anak mulai belajar merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat. Sering kali orang tua merasa jengkel dengan kegagapan anak, tetapi hal ini merupakan hal yang umum ditemui saat anak masih dalam tahap perkembangan berbicara. Kesabaran merupakan sikap terpenting yang harus dimiliki oleh orang tua selama anak berada dalam tahap ini. Seorang anak mungkin mengalami gangguan kelancaran berbicara selama beberapa minggu atau bulan dengan gejala yang hilang timbul. Sebagian besar anak akan lancar berbicara dan tidak akan gagap lagi bila kegagapannya itu dimulai pada usia kurang dari 5 tahun.
Anak Usia Sekolah Saat anak mulai memasuki usia sekolah, kemampuan dan keterampilan berbicaranya akan semakin terasah. Umumnya anak akan semakin lanca berbicara dan ia sudah tidak gagap lagi. Jika ia masih gagap, umumnya pada usia tersebut ia sudah mulai merasa malu akan hal tersebut. Anak seperti ini membutuhkan latihan khusus untuk membantunya dalam berkomunikasi.
Bantuan Yang Diperlukan Seorang anak sebaiknya mulai mendapat bantuan khusus bila:
orang tua mulai merasa khawatir akan kelancaran berbicara anaknya
anak terlalu sering mengulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat
pengulangan suara-suara seperti “aa� semakin sering diucapkannya
anak tampak kesulitan saat akan berbicara
gangguan kelancaran berbicaranya semakin berat
mimik muka anak tampak tegang saat berbicara
suara anak terdengar tegang saat mengucapkan kata-kata bernada tinggi
anak sering menghindari keadaan dimana ia harus berbicara
Jika ada tanda-tanda diatas yang tampak saat anak berbicara maka sebaiknya orang tua mulai menghubungi dokter atau ahli terapi bicara. Semakin dini bantuan yang diberikan kepada seorang anak maka semakin baik pula hasil yang akan diperoleh.
Apa Yang Dapat Dilakukan Oleh Orang Tua?
Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menciptakan suatu suasana yang membantu bagi seorang anak:
Jangan menyuruh anak untuk selalu berbicara dengan tata bahasa yang benar. Biarkan anak untuk berbicara dengan nyaman dan menyenangkan.
Manfaatkan waktu makan bersama untuk melatih kelancaran berbicara anak. Hindari hal-hal lain yang mungkin mengganggu seperti televisi atau radio.
Jangan selalu mengkritik anak dengan ucapan seperti “pelan-pelan saja� atau semacamnya. Komentar semacam ini, walaupun diucapkan dengan niat baik, hanya akan membuat anak merasa semakin tertekan.
Ijinkan anak untuk berhenti berbicara jika ia merasa tidak nyaman.
Jangan menyuruh anak untuk mengulangi kata-katanya.
Jangan selalu menyuruh anak untuk berhati-hati dalam berbicara.
Ciptakan suasana yang tenang di rumah.
Berbicaralah dengan pelan dan jelas kepada anak.
Tataplah mata anak bila berbicara dengannya. Jangan melihat kearah lain dan jangan pula menunjukkan kekecewaan anda didepan anak.
Biarkan anak berbicara dan mengucapkan kalimatnya sampai selesai.
Yang paling penting adalah: seringlah berlatih! Jadilah contoh yang baik bagi anak dengan selalu berbicara dengan jelas.
Mengatasi Penyakit Gagap
Penyakit gagap atau kesulitan berbicara secara lancar seringkali dialami oleh anak-anak berusia sekitar 2-3 tahun bahkan sampai 8tahun.Umumnya gagap merupakan dari penyakit keturunan, dan seringkali menimpa anak laki-laki. terkadang gagap disebabkan faktor keadaan yang dihadapi anak-anak. Mengatasi anak-anak yang gagap, janganlah mengoreksi sewaktu ia berbicara. biarkan ia berbicara dengan tenang selama beberapa bulan.Hentikan kebiasaan menyuruh anak yang gagap berbicara di depan umum/tamu. ajak dia bermain dengan menguranginya berbicara.bersikap;ah tenang saat beada di dekat anak tersebut dan dengarkan pembicaraannya dengan seksama dan jangan mencoba menyelanya.untuk membantu penyembuhan dapat dilakukan dengan cara;
memberinya minum air putih yang telah di diamkan selama 1-2 hari di dalam kendi tanah liat,dan diusahakan jangan berhenti pada saat meminumnya sebanyak 1-1,5liter sekali minum setelah itu tarik nafas dalam-dalam. lakukan cara ini selama tiga minggu.
efek gagap secara fisik mungkin tidak bergitu berpengaruh namun secara psikologis orang gagap biasanya minder dan malu memiliki kekurangan dalam hal berbicara di depan umum. orang gagap mungkin akan menjadi pendiam dan hanya bicara ke orang-orang yang dekat saja. rasa tidak percaya diri selalu ada terus-menerus dan mungkin ada rasa putus asa jika penderita gagap dikucilkan dan selalu dicemohkan orang yang berada di sekitarnya.
untuk mengobati gagap diperlukan tekat. kerja keras serta dukungan dari orang-orang dekat. si penderita harus dibantu untuk melatih kegegapannya hingga sembuh dengan menggunakan metode-metode yang mungkin ada. untuk mengatasi efek psikis tadi diperlukan bimbingan konseling atau psikolog.
Encopresis adalah buang air besar tiba-tiba yang bukan disebabkan oleh penyakit atau kelainan fisik.Sekitar 17% pada usia 3 tahunan dan 1% pada usia 4 tahunan mengalami encopresis, seringkali disebabkan tidak mau belajar ke toilet. Meskipun begitu, sembelit kronis, yang merentangkan dinding usus besar dan mengurangi kesadaran anak tersebut untuk usus besar yang penuh, menghalangi kontrol otot, kadangkala menyebabkan encopresis.
Seorang dokter terlebih dulu berusaha untuk memastikan penyebabnya. Jika penyebabnya adalah sembelit, pencahar dianjurkan dan cara lain ditetapkan untuk memastikan buang air besar secara teratur. Setelah buang air besar teratur tercapai, kebocoran seringkali berhenti. Jika cara ini gagal, tes diagnosa kemungkinan dilakukan, seperti sinar-X pada perut dan kadang sebuah biopsi pada dinding anus, dimana contoh jaringan diambil dan diteliti di bawah sebuah mikroskop. Jika penyebab fisik ditemukan, hal itu seringkali bisa diobati. Pada kasus yang paling berat, konseling psikologi kemungkinan diperlukan untuk anak yang encopresis adalah hasil penolakan pada latihan bertoilet atau masalah prilaku yang lainnya.
DIALAMI SIAPA SAJA
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 1,5 persen anak usia SD mengalami encopresis. Lebih rinci lagi, 2 persen dari jumlah tersebut adalah anak laki-laki usia 8 tahun. Sementara anak perempuan usia 8 tahun yang mengalami encopresis hanya 0,7 persen. Masih menurut survei, anak laki-laki lebih sering mengalami encopresis sekitar 3 kali lipat dibandingkan anak perempuan. Kenapa begitu? Selidik punya selidik ternyata anak perempuan memang lebih cepat menerapkan toilet training dibandingkan anak laki-laki.
Yang perlu diketahui juga, kejadian encopresis tak berkaitan sama sekali dengan faktor genetik, status sosial, atau status ekonomi. Jadi, siapa pun bisa mengalaminya. Pada beberapa kasus, encopresis dialami oleh anak yang hiperaktif dan ADHD.
Menurut Rini, ada 2 klasifikasi mengapa anak mengalami encopresis. Pertama, anak belum pernah dilatih toilet training. Jadi, otomatis dia selalu BAB di celana. Kedua, anak pernah dilatih toilet training dan bisa menerapkannya. Namun, karena kondisi tertentu si anak kemudian tak bisa mengendalikan buang air lagi sehingga terjadilah encopresis.
Rini menambahkan, anak yang mengalami encopresis di usia sekolah bukan berarti dia mengalami kemunduran atau regresi. Untuk melihat apakah ada sesuatu yang serius tentunya harus memperhatikan seluruh aspek perkembangan si anak. "Apakah perkembangan bahasa, motorik, dan kognitifnya juga ikut mengalami regresi atau tidak."
PENYEBAB
Belum diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab anak mengalami encopresis. Meski begitu, kalau mau dirunut ada beberapa faktor yang "mengontribusi" terjadinya encopresis yaitu:
1. Stres
Anak mengalami beban pikiran yang tak terselesaikan. Entah itu masalah di sekolah atau di rumah. Misalnya, masalah pelajaran yang terlalu berat atau lingkungan sekolah yang membuatnya tak nyaman. Permasalahan dengan orang tua, seperti merasa kurang diperhatikan atau kurang kasih sayang, juga dapat menjadi beban pikiran.
2. Kurang aktivitas fisik
Anak yang kurang melakukan aktivitas fisik berisiko mengalami encopresis. Sebaiknya di usia sekolah, dimana anak tengah bersemangat melakukan eksplorasi, ia diberi berbagai kegiatan. Tujuannya selain untuk mengantisipasi terjadinya encopresis, juga demi mengembangkan kemampuan dan keterampilannya.
3. Selalumenahan BAB
Ada juga beberapa anak yang selalu menahan BAB. Alasannya beragam. Misalnya, anak terlalu asyik melakukan suatu kegiatan sehingga enggan pergi ke toilet. Namun karena rangsangan untuk BAB begitu kuat dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya terjadilah encopresis.
Sebagian anak menahan BAB karena tak terbiasa menggunakan sarana umum, terutama toilet yang kurang bersih. Misalnya, kamar mandi di sekolah yang ternyata bau dan kotor yang bertolak belakang dengan toilet di rumah yang terjaga kebersihannya. Akhirnya dia memilih menahan BAB ketimbang harus memakai toilet sekolah. Saat si anak tak kuat lagi menahan, terjadilah encopresis. Syukur-syukur kalau ia berterus terang BAB di celana, karena biasanya mereka akan diam seribu basa. Baru ketahuan orang lain setelah tercium aromanya yang tak sedap.
4. Makanan/Minuman
Encopresis juga bisa dipicu oleh asupan makanan yang kurang baik yang menyebabkan. gangguan di saluran pencernaan. Misalnya sering menyantap makanan berlemak tinggi, berkadar gula tinggi atau junk food. Minuman yang mengandung banyak gula dan soda juga bisa mencetuskan terjadinya encopresis.
5. Trauma
Contohnya, akibat sembelit atau kesulitan mengeluarkan tinja karena keras. Lama-kelamaan anak menjadi trauma karena setiap kali BAB ia merasa sakit. Untuk menghindari rasa sakit itu, ia jadi sering menahan untuk tidak BAB.
6. Obat-obatan
Encopresis juga bisa terjadi karena efek obat-obatan yang bisa menyebabkan terhambatnya pengeluaran kotoran. Misalnya, obat batuk yang mengandung zat seperti codein. Encopresis terjadi karena obat tersebut tak cocok atau dipakai dalam jangka panjang.
7. Kegagalan toilet training
Pengajaran atau pelatihan buang air (toilet training) yang dilakukan dengan memaksa anak, cepat atau lambat akan menjadi tidak efektif. Begitu pula kalau misalnya anak yang BAB di celana lantas dimarahi orang tua.
AKIBAT FISIK-PSIKIS
Anak yang mengalami encopresis akan mengalami berbagai masalah emosi, seperti rendah diri, tak mau bersosialisasi atau menarik diri dari pergaulan. Ia juga akan merasa malu, takut dicemooh, atau khawatir dimarahi. Belum lagi secara fisik, anak mengalami nyeri di bagian perut karena berusaha menahan BAB.
Akhirnya, kotoran yang harusnya dibuang tetapi tertahan di dalam perut. Dalam beberapa kasus encopresis menyebabkan infeksi pada salurah kemih karena kebiasaan menahan BAB. Ada juga yang mengalami gangguan iritasi kulit atau jamur karena kebersihan tak terjaga. Kalau sudah begitu, anak juga akan kehilangan nafsu makan sehingga rentan sakit.
TERAPI
Penderita encopresis membutuhkan penanganan yang tepat dengan melakukan terapi. Menurut Rini prinsip terapinya adalah konseling atau edukasi pada anak mengenai BAB. Mereka dapat cepat memahami penjelasan yang diberikan mengingat kemampuan kognitif anak seusia ini sudah berkembang.
Salah satunya adalah terapi yang bisa dilakukan kalau anak selalu menahan BAB karena merasa jijik dan tak mau masuk ke kamar mandi umum:
* Tanamkan bahwa tidak semua kamar mandi umum/sekolah akan resik dan wangi sesuai dengan harapannya.
* Sebelum menggunakan toilet umum/sekolah, minta ia membersihkan dengan menyiramnya terlebih dahulu.
* Tak ada salahnya anak selalu dibekali tisu, masker, dan pengharum ruangan untuk lebih menyamankannya saat di toilet umum.
* Yang pasti, jangan beri anak pembalut untuk mengatasi encopresis-nya. Ini justru tak mendidik.
* Jika masalah psikologis anak tampak berat, sampai stres atau trauma misalnya, ada baiknya orang tua dan anak duduk bersama membahas permasalahan yang dihadapi. Jika perlu konsultasikan dengan psikolog.
* Terapkan pola makan yang baik dan teratur. Usahakan banyak mengonsumsi makanan berserat, sayuran, buah-buahan, serta susu. Kurangi konsumsi makanan berlemak tinggi, junk food, dan soft drink.
* Kepada anak yang selalu merasa nyeri saat mau BAB bisa diberikan obat-obatan untuk pengencer tinja. Namun, penggunaanya harus tetap berdasarkan rekomendasi dokter.
* Ajarkan untuk melakukan BAB secara teratur, misalnya pagi atau malam hari.
* Yang pasti, anak jangan disalahkan atau dicemooh kalau mengalami encopresis. Mestinya orang tua selalu mendukung dan membantu kesulitan anak.
JIKA tak ada faktor yang mengontribusi munculnya encopresis, menurut Rini, maka tetap harus diwaspadai. Jangan-jangan ada masalah dengan kesehatannya. Misalnya ada penyakit atau gangguan di organ pencernaan. Kepastian akan adanya kelainan di bagian usus dapat terdeteksi melalui pemeriksaan rontgen.
Berikut ini beberapa gangguan/penyakit yang bisa menyebabkan BAB tak terkendali:
* Diare yang tak kunjung sembuh.
* Penyakit kencing manis (diabetes melitus).
- Gangguan urat saraf tulang belakang.
* Gangguan anus seperti tumor anus atau adanya penonjolan lapisan rektum melalui anus.
Semua penyakit ini memiliki gejala hampir sama dengan encopresis, yakni si penderita tidak mampu mengontrol BAB-nya.
LANGKAH MENEGAKKAN DIAGNOSA
Untuk mengetahui penyebab kesulitan pengendalian BAB ini, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan yaitu:
* Pemeriksaan kelainan saraf, misalnya pemeriksaan fungsi saraf dan lapisan otot-otot pelvis (panggul).
* Pemeriksaan struktur/organ pencernaan.
* Pemeriksaan anus dan rektum.
* Pemeriksaan sensasi di sekeliling lubang anus.
* Pemeriksaan sigmoidoskopi (pemeriksaan bagian dalam usus besar).
Pengobatan atau terapinya hampir sama dengan encopresis. Jika tak kunjung berhasil mungkin diperlukan proses pembedahan.
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1 Prevalensi keseluruhan enuresis nokturnal diperkirakan sekitar 12,3% dengan enuresis derajat ringan, 2,5% dengan enuresis derajat sedang dan 3,6% dengan enuresis derajat berat.2 Kurangnya konsensus internasional dan definisi yang tidak pasti mengenai konsep, terminologi, dan klasifikasi enuresis nokturnal merupakan tantangan dalam memahami beberapa penelitian yang ditemukan di literatur. Selain itu, enuresis juga sering ditemui di masyarakat dengan berbagai persepsi dan cara pengobatannya. Dengan konsep, terminologi, dan klasifikasi yang jelas, pengobatan pasien enuresis dapat diberikan dengan tepat.
Prevalensi enuresis primer lebih tinggi pada laki-laki dan menurun sesuai dengan usia penderita. Pada usia 5 tahun, sekitar 23% anak seringkali mengompol di tempat tidur. Pada usia 7 tahun, sekitar 20% anak masih mengompol. Pada usia 10 tahun, hanya 4% anak saja yang masih mengompol. Sedangkan pada masa remaja, tepatnya di usia 18 tahun, enuresis primer hanya terjadi sekitar 1-2%. Kasus enuresis sekunder hanya mencakup 25% kasus enuresis.
Belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat enuresis tetapi anak dengan enuresis rentan untuk menimbulkan kasus penganiayaan anak oleh orang tua atau pengasuhnya pada situasi tertentu. Enuresis dapat menimbulkan morbiditas berupa stress psikososial. Selain itu, enuresis juga dihubungkan dengan adanya masalah-masalah yang cukup berat dalam keluarga. Ruam berat di perineum, genital, dan abdomen bawah juga terjadi pada pasien dengan enuresis. Ruam tersebut berpotensi menyebabkan kulit lecet dan infeksi kulit meskipun hal ini jarang terjadi.
Sayangnya, hanya sekitar 36% pasien enuresis yang datang untuk meminta pertolongan medis meskipun anak dengan enuresis ini seringkali sudah mengalami gangguan kesehatan emosional. Padahal attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau lazim dikenal dengan istilah ‘anak hiperaktif’, seringkali dikaitkan erat dengan enuresis ini. Dengan demikian, para penyandang profesi kesehatan anak harus rutin melakukan skrining terhadap ada/tidaknya enuresis dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosional anak dan keluarga.
Enuresis ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh orang tua. Adanya berbagai masalah yang terjadi secara sekunder akibat enuresis ini tidak luput dari perhatian para klinisi untuk ditangani secara medis. Berikut ini akan dipaparkan tinjauan pustaka tentang enuresis pada anak.
Terminologi, definisi dan klasifikasi
Enuresis merupakan kata dari bahasa Yunani yang berarti “membuat air”. Istilah ini digunakan sebagai istilah medis untuk mengompol, baik saat malam hari (nokturnal) maupun siang hari (diurnal).5 Istilah enuresis ini lebih sering dianggap mewakili enuresis saat tidur malam hari atau lazim disebut primary nocturnal enuresis (PNE) atau enuresis nokturnal. Enuresis nokturnal merupakan kondisi dimana anak yang sudah mampu menahan kencing saat terjaga tetapi mengompol saat tertidur.4 Sumber pustaka lainnya secara rinci menyebutkan bahwa syarat enuresis adalah anak berusia 5 tahun ke atas yang mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan.7,8 Namun, disebutkan pula bahwa PNE merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.
Untuk membedakan enuresis nokturnal dan diurnal, International Children’s Continence Society baru-baru ini mempublikasikan standardisasi terminologi enuresis. Mereka mendefinisikan enuresis sebagai segala bentuk gejala mengompol yang terjadi dalam jumlah diskret pada malam hari, terlepas apakah hal tersebut berhubungan/tidak dengan gejala mengompol di siang hari. Hal ini perlu dibedakan dengan inkontinensia yang didefinisikan sebagai kebocoran urin tak terkendali yang terjadi secara intermiten atau kontinu dan terjadi setelah status kontinensia pernah tercapai. Inkontinensia kontinu berarti kebocoran urin konstan, seperti pada anak dengan ureter ektopik atau kerusakan iatrogenik pada sfingter eksterna. Sedangkan inkontinensia intermitten adalah kebocoran urin dalam jumlah diskret selama siang, malam, atau keduanya. Bentuk inkontinensia intermitten yang terjadi minimal di malam hari inilah yang mereka istilahkan dengan enuresis. Mereka juga menyebutkan bahwa kebocoran urin yang terjadi selama siang hari tidak lagi disebut sebagai enuresis diurnal tetapi sekarang disebut sebagai inkontinensia pada siang hari. Istilah lain yang perlu dibedakan dengan enuresis adalah dysfunctional voiding dimana terdapat inkompetensi kontraksi otot untuk menahan urin dan biasanya dihubungkan dengan konstipasi. Istilah ini juga merujuk pada sindroma eliminasi disfungsional.
Berdasarkan derajat penyakit, enuresis nokturnal terbagi menjadi derajat ringan (enuresis pada 1-6 malam di bulan terakhir), derajat sedang (enuresis pada 7 malam atau lebih di bulan terakhir dan tidak setiap malam), dan derajat berat (enuresis setiap malam).2 Sedangkan berdasarkan jumlah gejala yang dikeluhkan, enuresis dapat dibagi menjadi tipe monosimptomatik dan non-monosimptomatik. Anak dengan enuresis monosimptomatik hanya mengompol di malam hari dan tidak ada gejala inkontinensia pada siang hari. Sedangkan anak dengan enuresis non-monosimptomatik mengalami inkontinensia pada siang hari selain mengompol di malam hari. Enuresis non-monosimptomatik ini lebih sering terjadi karena kebanyakan pasien biasanya pernah mengalami gejala inkontinensia pada siang hari tetapi seringkali tidak cukup bermakna (subtle) untuk dikeluhkan. Hal ini baru diketahui jika anamnesis dilakukan dengan teliti.
Berdasarkan jelas/tidaknya penyebab, enuresis juga dapat dibagi menjadi enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer didiagnosis pada individu yang belum pernah mengalami status kontinensia sejak lahir atau mengalami status kontinensia tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut.1,8 Sedangkan enuresis sekunder didiagnosis pada individu yang telah mengalami periode kontinensia minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis.1,5 Manifestasi klinis enuresis primer yang sama dengan enuresis sekunder menunjukkan adanya kesamaan patogenesis umum pada kedua jenis enuresis tersebut. Oleh karena luasnya cakupan pembahasan mengenai enuresis sekunder yang merupakan akibat atau bagian dari gambaran klinis penyakit lain, makalah tinjauan pustaka ini akan lebih banyak menitikberatkan pembahasan enuresis primer yang bersifat monosimptomatik.
March 27th, 2010
Enuresis
Tidak sesuai pencarian Anda? Cari artikel yang sesuai:
Author: Sufriyana H.
Indonesian Medical Student Journal. 2010;1:7-13.
Latar belakang
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1 Prevalensi keseluruhan enuresis nokturnal diperkirakan sekitar 12,3% dengan enuresis derajat ringan, 2,5% dengan enuresis derajat sedang dan 3,6% dengan enuresis derajat berat.2 Kurangnya konsensus internasional dan definisi yang tidak pasti mengenai konsep, terminologi, dan klasifikasi enuresis nokturnal merupakan tantangan dalam memahami beberapa penelitian yang ditemukan di literatur. Selain itu, enuresis juga sering ditemui di masyarakat dengan berbagai persepsi dan cara pengobatannya. Dengan konsep, terminologi, dan klasifikasi yang jelas, pengobatan pasien enuresis dapat diberikan dengan tepat.3
Prevalensi enuresis primer lebih tinggi pada laki-laki dan menurun sesuai dengan usia penderita. Pada usia 5 tahun, sekitar 23% anak seringkali mengompol di tempat tidur. Pada usia 7 tahun, sekitar 20% anak masih mengompol. Pada usia 10 tahun, hanya 4% anak saja yang masih mengompol. Sedangkan pada masa remaja, tepatnya di usia 18 tahun, enuresis primer hanya terjadi sekitar 1-2%. Kasus enuresis sekunder hanya mencakup 25% kasus enuresis.4
Belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat enuresis tetapi anak dengan enuresis rentan untuk menimbulkan kasus penganiayaan anak oleh orang tua atau pengasuhnya pada situasi tertentu. Enuresis dapat menimbulkan morbiditas berupa stress psikososial. Selain itu, enuresis juga dihubungkan dengan adanya masalah-masalah yang cukup berat dalam keluarga. Ruam berat di perineum, genital, dan abdomen bawah juga terjadi pada pasien dengan enuresis. Ruam tersebut berpotensi menyebabkan kulit lecet dan infeksi kulit meskipun hal ini jarang terjadi.5
Sayangnya, hanya sekitar 36% pasien enuresis yang datang untuk meminta pertolongan medis meskipun anak dengan enuresis ini seringkali sudah mengalami gangguan kesehatan emosional. Padahal attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau lazim dikenal dengan istilah ‘anak hiperaktif’, seringkali dikaitkan erat dengan enuresis ini. Dengan demikian, para penyandang profesi kesehatan anak harus rutin melakukan skrining terhadap ada/tidaknya enuresis dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosional anak dan keluarga.6
Enuresis ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh orang tua. Adanya berbagai masalah yang terjadi secara sekunder akibat enuresis ini tidak luput dari perhatian para klinisi untuk ditangani secara medis. Berikut ini akan dipaparkan tinjauan pustaka tentang enuresis pada anak.
Terminologi, definisi dan klasifikasi
Enuresis merupakan kata dari bahasa Yunani yang berarti “membuat air”. Istilah ini digunakan sebagai istilah medis untuk mengompol, baik saat malam hari (nokturnal) maupun siang hari (diurnal).5 Istilah enuresis ini lebih sering dianggap mewakili enuresis saat tidur malam hari atau lazim disebut primary nocturnal enuresis (PNE) atau enuresis nokturnal. Enuresis nokturnal merupakan kondisi dimana anak yang sudah mampu menahan kencing saat terjaga tetapi mengompol saat tertidur.4 Sumber pustaka lainnya secara rinci menyebutkan bahwa syarat enuresis adalah anak berusia 5 tahun ke atas yang mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan.7,8 Namun, disebutkan pula bahwa PNE merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1
Untuk membedakan enuresis nokturnal dan diurnal, International Children’s Continence Society baru-baru ini mempublikasikan standardisasi terminologi enuresis. Mereka mendefinisikan enuresis sebagai segala bentuk gejala mengompol yang terjadi dalam jumlah diskret pada malam hari, terlepas apakah hal tersebut berhubungan/tidak dengan gejala mengompol di siang hari. Hal ini perlu dibedakan dengan inkontinensia yang didefinisikan sebagai kebocoran urin tak terkendali yang terjadi secara intermiten atau kontinu dan terjadi setelah status kontinensia pernah tercapai. Inkontinensia kontinu berarti kebocoran urin konstan, seperti pada anak dengan ureter ektopik atau kerusakan iatrogenik pada sfingter eksterna. Sedangkan inkontinensia intermitten adalah kebocoran urin dalam jumlah diskret selama siang, malam, atau keduanya. Bentuk inkontinensia intermitten yang terjadi minimal di malam hari inilah yang mereka istilahkan dengan enuresis. Mereka juga menyebutkan bahwa kebocoran urin yang terjadi selama siang hari tidak lagi disebut sebagai enuresis diurnal tetapi sekarang disebut sebagai inkontinensia pada siang hari. Istilah lain yang perlu dibedakan dengan enuresis adalah dysfunctional voiding dimana terdapat inkompetensi kontraksi otot untuk menahan urin dan biasanya dihubungkan dengan konstipasi. Istilah ini juga merujuk pada sindroma eliminasi disfungsional.1
Berdasarkan derajat penyakit, enuresis nokturnal terbagi menjadi derajat ringan (enuresis pada 1-6 malam di bulan terakhir), derajat sedang (enuresis pada 7 malam atau lebih di bulan terakhir dan tidak setiap malam), dan derajat berat (enuresis setiap malam).2 Sedangkan berdasarkan jumlah gejala yang dikeluhkan, enuresis dapat dibagi menjadi tipe monosimptomatik dan non-monosimptomatik. Anak dengan enuresis monosimptomatik hanya mengompol di malam hari dan tidak ada gejala inkontinensia pada siang hari. Sedangkan anak dengan enuresis non-monosimptomatik mengalami inkontinensia pada siang hari selain mengompol di malam hari. Enuresis non-monosimptomatik ini lebih sering terjadi karena kebanyakan pasien biasanya pernah mengalami gejala inkontinensia pada siang hari tetapi seringkali tidak cukup bermakna (subtle) untuk dikeluhkan. Hal ini baru diketahui jika anamnesis dilakukan dengan teliti.9,10
Berdasarkan jelas/tidaknya penyebab, enuresis juga dapat dibagi menjadi enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer didiagnosis pada individu yang belum pernah mengalami status kontinensia sejak lahir atau mengalami status kontinensia tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut.1,8 Sedangkan enuresis sekunder didiagnosis pada individu yang telah mengalami periode kontinensia minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis.1,5 Manifestasi klinis enuresis primer yang sama dengan enuresis sekunder menunjukkan adanya kesamaan patogenesis umum pada kedua jenis enuresis tersebut.9 Oleh karena luasnya cakupan pembahasan mengenai enuresis sekunder yang merupakan akibat atau bagian dari gambaran klinis penyakit lain, makalah tinjauan pustaka ini akan lebih banyak menitikberatkan pembahasan enuresis primer yang bersifat monosimptomatik.
Faktor risiko, etiologi dan patofisiologi
Beberapa faktor risiko yang terbukti berkaitan dengan enuresis derajat berat adalah inkontinensia pada siang hari, enkopresis, disfungsi kandung kemih dan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan stress emosional dan masalah sosial dikaitkan dengan enuresis nokturnal derajat sedang.2 Enuresis dilaporkan terdapat pada sekitar 18,5% anak-anak yang bersekolah di siang hari dan pada sekitar 11,5% anak-anak yang ‘bersekolah’ di rumah. Prevalensi enuresis meningkat pada anak yang tinggal di desa, dengan pendapatan rendah dan dengan riwayat keluarga enuresis. Setelah dilakukan analisis multivariat, riwayat infeksi saluran kemih, usia, pendapatan bulanan rendah dan riwayat keluarga enuresis adalah faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan enuresis. Sekitar 46,4% orang tua dan 57,1% anak dengan enuresis memberikan perhatiannya terhadap dampak dari enuresis ini.
Seorang dokter harus menyadari bahwa PNE adalah diagnosis ‘keranjang sampah’ dan semua penyebab mengompol yang lain harus disingkirkan terlebih dahulu. Penyebab-penyebab enuresis sekunder antara lain neurogenic bladder dan kelainan medula spinalis lain yang terkait, infeksi saluran kemih, adanya katup uretra posterior pada laki-laki atau ureter ektopik pada perempuan.
Tabe,l Etiologi primary nocturnal enuresis
Faktor
Patofisiologi
Bukti penelitian
Penundaan perkembangan
Penundaan maturasi fungsi sistem saraf pusat yang menyebabkan gangguan bangun tidur
Tinggi angka remisi spontan ketika anak semakin dewasa, penelitian pada hewan.
Lebih dominan sebagai akibat daripada sebagai penyebab
Anatomi
Tidak ditemukan
Anak dengan primary nocturnal enuresis memiliki pemeriksaan fisik yang normal
Kadar hormon antidiuretik
Kadarnya rendah saat malam hari pada anak dengan primary nocturnal enuresis yang menyebabkan overproduksi urin
Penelitian tentang hormonal.
Enuresis dapat terjadi tanpa sebab yang jelas atau idiopatik. Jika hal ini didapati, faktor patofisiologik yang patut diduga adalah gangguan bangun tidur, poliuria nokturnal, dan kapasitas nokturnal kandung kemih yang kurang. Gangguan bangun tidur adalah kondisi dimana anak tidak terbangun oleh rangsang suara yang biasanya direspon oleh anak normal, sehingga pada kasus enuresis, diduga anak tidak terbangun oleh distensi kandung kemih oleh urin. Sedangkan poliuria nokturnal adalah buang air kecil berlebihan pada malam hari yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti jumlah makanan/cairan yang dikonsumsi sebelum tidur, sekresi antidiuretic hormone (ADH) yang rendah pada malam hari, peningkatan ekskresi cairan pada malam hari, dan kelebihan asupankafein. Sedangkan kapasitas fungsional kandung kemih yang rendah dikaitkan dengan dengan banyaknya keluaranurin pada malam hari. Hal in terjadi karena anak dengan enuresis memiliki volume kandung kemih nokturnal yang lebih kecil. Selain itu, otot detrusor anak juga mengontraksikan kandung kemih ke volume yang lebih kecil lagi pada malam hari.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Evaluasi enuresis nokturnal dimulai dengan anamnesis. Penting untuk menentukan apakah enuresis merupakan primer atau sekunder. Pola enuresis juga harus ditentukan, yaitu mencakup berapa malam per minggu dan berapa kali (episode) per malam. Pola asupancairan malam hari harus dicatat, demikian pula asupan kafein jika ada.
Tabel 2. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta interpretasinya.9
Gejala, tanda, kondisi
Interpretasi yang mungkin
Rujukan ke dokter spesialis
Sering buang air kecil
Penurunan kapasitas kandung kemih
Ya
Nokturia
Penurunan kapasitas kandung kemih
Ya
Urgensi urinaria
Ya
Inkontinensia di siang hari
Ya
Kelainan aliran kemih atau interuptus
Ya
Urin merembes pada popok
Poliuria nokturnal
Tidak
Urin volume besar pada buang air kecil pertama pagi hari
Poliuria nokturnal
Tidak
Asupan air siang hari sedikit, haus saat pulang sekolah, mayoritas asupan air pada sore atau malam hari
Poliuria nokturnal
Tidak
Haus, poliuria
Poliuria nokturnal, kemungkinan diabetes melitus atau diabetes insipidus
Tidak
Sistitis
Penurunan kapasitas kandung kemih
Ya
Konstipasi atau enkopresis
Penurunan kapasitas kandung kemih
Ya
Mendengkur
Gangguan bangun tidur
Ya
Tinja keras di abdomen
Konstipasi
Ya
Tidak adanya jepitan anus
Neurogenic bladder
Ya
Kelainan kulit lain di daerah vertebra lumbosakral
Neurogenic bladder
Ya
Tidak ada perbaikan dengan terapi
Ya
Anamnesis harus mencakup pertanyaan mengenai poliuria, polidipsia, urgensi, frekuensi, disuria, kelainan aliran urin, riwayat infeksi saluran kemih, mengompol spontan, dan keluhan saluran cerna (15% anak dengan enuresis juga mengalami enkopresis). Riwayat gangguan tidur seperti sleep apnea atau insomnia dan riwayat neurologik maupun perkembangan harus ditanyakan. Riwayat keluarga juga membantu investigasi enuresis.
Pemeriksaan fisik harus mencakup palpasi abdomen untuk menilai ada/tidaknya massa tinja, pemeriksaan tulang belakang segmen bawah untuk menilai ada/tidaknya stigmata kutaneus disrafisme spinalis (pigmentasi pada linea vertebralis), penilaian jepitan anus, dan evaluasi kekuatan motorik, tonus, refleks, dan sensasi di tungkai untuk membuktikan ada/tidaknya neurogenic bladder. Anak-anak yang mengalami gejala mengompol di siang hari atau tidak membaik dengan terapi harus dirujuk ke dokter spesialis anak
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis adalah pemeriksaan yang paling penting untuk skrining anak dengan enuresis. Anak-anak dengan sistitis biasanya memiliki bukti adanya leukosit atau bakteri pada urinalisis mikroskopik. Anak-anak dengan overactivebladder atau dysfunctional voiding, obstruksi uretra, neurogenic bladder, ureter ektopik, atau diabetes melitus merupakan predisposisi terjadinya sistitis. Jika ditemukan bukti sistitis pada urinalisis, urin harus dikirim untuk kultur dan uji sensitifitas. Obstruksi uretra dihubungkan dengan adanya sel darah merah pada urin. Adanya glukosa menunjukkan kemungkinan diabetes melitus. Pengambilan urin acak atau urin pagi hari dengan berat jenis lebih dari 1,020 menyingkirkan diabetes insipidus. Pemeriksaan darah pada pasien enuresis biasanya tidak dibutuhkan kecuali dicurigai ada kondisi lain yang menjadi indikasi pemeriksaan tersebut.
Penatalaksanaan
Terapi perilaku (behavioraltherapy) merupakan salah satu terapi yang disarankan untuk pasien enuresis. Pada terapi ini, anak dibiasakan untuk buang air kecil lebih sering dan terjadwal serta membiasakan anak untuk buang air besar setelah sarapan pagi. Hal ini tentu memerlukan motivasi terus-menerus dan dievaluasi setiap 6 bulan. Anak juga dapat diajarkan untuk belajar merelaksasi kandung kemih dan dasar pelvisnya.10
Pada sebuah penelitian tanpa kontrol, keberhasilan dalam menangani konstipasi, tanpa adanya intervensi lain, menyebabkan resolusi enuresis pada 63% dari 41 pasien. Obat yang mampu melunakkan tinja membantu meningkatkan keteraturan peristaltik untuk mengoptimalkan pengosongan usus. Pemberian polietilen glikol, yang tidak berasa bagi hampir semua anak dan memiliki efek samping yang minimal, merupakan cara yang efektif mengatasi konstipasi dibandingkan dengan placebo.
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan terapi perilaku.9
Lepaskan celana dalam dan kondisikan anak untuk buang air kecil di toilet setiap pagi hari.
Dorong anak untuk tidak menahan kencing.
Kerjasama dengan pihak sekolah untuk menyediakan toilet yang nyaman digunakan oleh anak.
Dorong anak untuk buang air besar setiap hari, terutama setelah makan pagi dan sebelum berangkat sekolah.
Dorong anak makan makanan yang melunakkan tinja dan mencegah makanan yang mengeraskan tinja.
Dorong anak untuk buang air kecil minimal sekali per 2 jam, minimal beberapa kali selama hari sekolah, dan cukup sering untuk mencegah urgensi dan inkontinensia.
Biarkan anak minum air sebebasnya selama pagi dan awal siang hari, minimal total 30 mL per kg berat badan.
Minimalisir asupan air dan minuman setelah makan malam kecuali anak ikut aktifitas sosial atau olahraga di malam hari.
Dorong anak mengimbangkan aktifitas fisik dan mengurangi duduk lama di depan televisi atau komputer.
Buat anak berada dalam posisi duduk/jongkok yang optimal di toilet untuk merelaksasikan otot dasar panggul dan mempermudah pengosongan usus (duduk di tengah toilet dengan tumit rata di lantai atau di pijakan kaki).
Keterangan:
Rekomendasi berdasarkan pengalaman klinis, bukan rendomized trials.
Rekomendasi berdasarkan penelitian Nevéus et al.
Terapi alarm adalah alternatif lain untuk pengobatan enuresis. Dengan terapi ini, anak dibangunkan tepat pada saat dimana dia akan buang air kecil. Terapi alarm ditujukan untuk memperbaiki kemampuan bangun dari tidur baik oleh kondisi klasik atau pengaruh lainnya.9 Terapi alarm seringkali dapat menghentikan enuresis tetapi anak-anak masih berkemungkinan mengalami penurunan kapasitas kandung kemih yang membuat anak bangun malam hari. Pendekatan terapeutik ini memerlukan waktu 3-6 bulan untuk bekerja dan sekitar 50% anak tidak enuresis lagi bahkan setelah terapi dihentikan.
Tabel 4. Rekomendasi penggunaan terapi alarm.
Gunakan sebagai terapi lini pertama sebelum meresepkan obat-obatan.
Lanjutkan terapi minimal 2-3 bulan.
Bangunkan anak dengan alarm setiap malam.
Dorong anak dan orang tua untuk ikut serta.
Karena anak-anak dengan cepat belajar untuk mematikan alarm dan kembali tidur, orang tua harus ikut terbangun setiap alarm berbunyi untuk memastikan anak tidak melakukannya.
Buat anak ke kamar mandi dan buang air kecil setiap alarm berbunyi.
Informasikan keluarga bahwa beberapa minggu pertama terapi adalah masa paling sulit, susun jadwal follow up lebih dini untuk mengawasi perkembangan dan mengatasi masalah lainnya.
Informasikan keluarga bahwa kegagalan anak untuk bangun atau orang tua untuk membangunkan anak adalah alasan paling sering terjadinya kegagalan terapi alarm.
Keterangan: rekomendasi didapatkan dari Glazener et al. Terapi ini efektif pada ? anak (4-55% relaps).
Terapi farmakologik terdiri atas desmopressin, antikolinergik, dan antidepressan trisiklik. Desmopressin dapat mengurangi poliuria nokturnal. Sediaannya yang dalam bentuk sprai nasal memiliki waktu paruh yang panjang sehingga perlu diwaspadai kemungkinan intoksikasi air dan hiponatremia. Formulasi oral lebih aman digunakan dengan waktu paruh yang pendek. Anak-anak memerlukan pembatasan cairan sebelum tidur ketika menggunakan obat ini. Obat ini tidak dapat menambah kapasitas kandung kemih.10
Antikolinergik dapat menjaga stabilitas dan meningkatkan kapasitas kandung kemih. Penggunaan antikolinergik akan bermanfaat jika dikombinasikan dengan desmopressin. Anak-anak dengan pengobatan ini harus konsultasi ke dokter lebih rutin karena kemungkinan efek samping penggunaannya. Antidepressan trisiklik (contohnya, imipramin) hanya digunakan ketika terapi lain gagal. Perubahan afek dan gangguan tidur sering terjadi pada pasien enuresis. Antidepressan trisiklik juga dapat membawa risiko kematian akibat overdosis dan bekerja hanya pada 20% kasus.
Tabel 5. Rekomendasi penggunaan terapi farmakologik.
Karakteristik
Desmopressin
Agen antikolinergik
Imipramin dan agen trisiklik lainnya
Evidence-based
Ya
Tidak
Ya
Mekanisme
Mengurangi poliuria nokturnal
Meningkatkan kapasitas kandung kemih, menurunkan overaktifitas detrusor
Tidak jelas
Pertimbangan
Gunakan sebagai lini pertama terapi farmakologik, pertimbangkan untuk situasi tertentu (berkemah, dll)
Gunakan sebagai lini kedua terapi farmakologik untuk anak-anak yang tidak berespon terhadap lini pertama, pertimbangkan untuk dikombinasi dengan desmopresin
Gunakan hanya sebagai lini ketiga terapi farmakologik ketika semua pilihan terapi gagal
Efikasi
Mengompol berhenti pada 3-48% subjek penelitian, bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti
Bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti
Mengompol berhenti pada 20% subjek penelitian, bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti
Dosis
Tablet: 200-600 µg 1 jam sebelum tidur; Formulasi cepat larut: 120-360 µg 30-60 menit sebelum tidur (pertimbangkan sediaan ini untuk anak yang sulit menelan tablet)
Tablet atau sirup oksibutinin: 5 mg atau 0,1 mg/kg sebelum tidur; tablet tolterodine: 2 mg sebelum tidur
Tablet: 25-50 mg sebelum tidur, tidak lebih dari 75 mg sebelum tidur
Efek samping
Intoksikasi air disertai sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, kejang; formulasi nasal-spray dengan label peringatan kotak hitam dibuat karena peningkatan risiko intoksikasi air, tidak direkomendasikan
Konstipasi, mulut kering, mata kabur, muka memerah, intoleransi panas, perubahan afek, peningkatan residu urin
Perubahan afek, mual, gangguan tidur, kardiotoksik dengan potensi kematian akibat overdosis, obat harus disimpan dengan baik, jauhkan dari jangkauan anak-anak
Interaksi obat
NSAIDs dan antidepressan dapat menyebabkan tambahan retensi cairan
Desmopressin memang telah diterima sebagai terapi medikamentosa untuk terapi enuresis nokturnal primer yang monosimptomatik. Namun, beberapa pasien ditemukan tidak berespon terhadap terapi ini. Pada pasien ini, dapat diberikan alternatif kombinasi desmopressin dan terapi antikolinergik. Untuk menguji efikasi kombinasi ini, Austin et al melakukan penelitian mengenai hasil akhiratas kombinasi terapi ini. Setelah 1 bulan terapi, terdapat penurunan signifikan angka rata-rata terjadinya enuresis pada kelompok subjek yang mendapat kombinasi terapi dibandingkan plasebo. Dengan pendekatan rumus, diperkirakan adanya penurunan signifikan 66% risiko enuresis dibandingkan dengan plasebo.
Radmayr et al melakukan penelitian terhadap 36 penelitian acak atas 20 anak berusia antara 5 dan 16 tahun yang mendapat terapi akupunktur atau desmopressin saja dan melakukan evaluasi setelah 6 bulan terapi. Sekitar 75% dan 65% pasien tidak lagi mengalami enuresis. Tidak adanya perbedaan signifikan di antara kedua modalitas terapi pada penelitian ini menunjukkan bahwa akupunktur dapat menjadi alternatif terapi. Akupunktur diduga memicu perubahan homeostatik dengan menguatkan chi ginjal dan limpa serta meregulasi otak. Namun, peneliti tidak menyebutkan secara jelas bagaimana mekanisme yang rinci mengenai penguatan ginjal dan limpa serta regulasi otak ini. Sayangnya, penelitian yang mendukung efektifitas akupunktur pada pasien enuresis dilakukan dengan jumlah subjek penelitian yang sedikit dan desain penelitiannya tidak menggunakan kontrol sehingga sulit untuk menarik kesimpulan apakah akupunktur dapat direkomendasikan pada pasien enuresis.
Komplikasi dan prognosis
Pada enuresis primer, masalah psikologis hampir selalu menjadi akibat dari penyakit ini dan jarang sekali sebagai penyebabnya. Sebaliknya, masalah psikologis merupakan penyebab yang mungkin didapati pada enuresis sekunder. Komorbiditas masalah perilaku adalah 2-4 kali lebih tinggi pada anak dengan enuresis di semua penelitian epidemiologik. Dampak emosional enuresis pada anak dan keluarga juga dapat terjadi.5
Anak-anak dengan enuresis lebih sering dihukum dan berisiko mengalami perlakuan kasar secara fisik dan emosional. Beberapa penelitian melaporkan adanya perasaan malu dan kecemasan pada anak-anak dengan enuresis, kehilangan kepercayaan diri dan berpengaruh terhadap persepsi diri, hubungan interpersonal, kualitas hidup, dan prestasi di sekolah.Dampak negatif yang signifikan pada kepercayaan diri dilaporkan bahkan pada anak dengan episode enuresis satu kali per bulan saja.5 Sebuah penelitian potong lintang (cross-sectional study) dilakukan terhadap 149 pasien berusia antara 6 dan 18 tahun yang didiagnosis enuresis nokturnal primer monosimptomatik. Delapan puluh sembilan persen (n=132) pasien mengalami kekerasan akibat mengompol. Semua kasus ditandai oleh adanya hukuman verbal (caci maki) yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan tipe agresi. Hukuman fisik tanpa kontak terjadi pada 50,8% kasus sedangkan hukuman fisik yang disertai kontak terjadi pada 48,5% kasus. Pelaku utama kekerasan adalah ibunya sendiri (87,9%). Terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan pelaku dan beratnya hukuman.15
Tingkat kesembuhan spontan untuk anak-anak yang tidak diobati adalah 15% per tahun. Ketika enuresis merupakan satu-satunya gejala yang dikeluhkan, terapi perilaku atau terapi alarm dapat bersifat kuratif untuk masalah ini. Desmopressin asetat dapat mengendalikan enuresis pada 55% anak. Ketika gejala ini juga terjadi pada siang hari, prognosisnya akan bergantung pada penyebab yang mendasarinya. Prognosisnya sempurna jika enuresis terjadi akibat sistitis, ureter ektopik, apneu obstruktif saat tidur, diabetes melitus, diabetes insipidus, penyakit dengan gejala kejang, blok jantung, atau hipertiroidisme. Enuresis akibat sistitis harus diatasi dengan terapi antibiotik yang tepat. Sedangkan ureter ektopik, apneu obstruktif saat tidur, dan blok jantung berespon terhadap intervensi bedah.
Tabel 6. Prevalensi kesulitan koordinasi motorik anak dengan enuresis.
Penilaian guru terhadap koordinasi anak
Enuresis sebelum usia 7 tahun
Enuresis pada usia 11 tahun
Tidak ada masalah enuresis
Di usia 7 tahun:
1.035 anak
540 anak
10.084 anak
Kendali tangan buruk
6,4 %
10,2 %
3,5 %
Gaduh gelisah
9,8 %
15,4 %
5,6 %
Koordinasi buruk
4,4 %
5,2 %
2,0 %
Gemetaran
2,9 %
3,9 %
1,8 %
Di usia 11 tahun:
972 anak
509 anak
9.423 anak
Kendali tangan buruk
4,2 %
6,1 %
2,4 %
Gaduh gelisah
5,1 %
8,3 %
3,3 %
Koordinasi fisik buruk
4,0 %
4,6 %
2,2 %
Diabetes mellitus, diabetes insipidus, dan hipertiroidisme berespon terhadap intervensi medikamentosa yang spesifik. Enuresis akibat overactive bladder atau dysfunctional voiding biasanya dapat teratasi tetapi inkotinensia pada siang hari dapat berlanjut hingga masa pubertas dan dewasa pada sekitar 20% pasien. Prognosis enuresis akibat neurogenic bladder tergantung pada penyebab neurologik dan apakah pasien dapat menjalani pembedahan atau tidak.5 Enuresis di masa kecil berhubungan dengan timbulnya gejala sisa di usia dewasa, contohnya dalam hal fungsi sosial, pencapaian pendidikan, dan eksistensi diri secara psikologik. Sebuah penelitian menunjukkan penundaan perkembangan koordinasi motorik pada anak dengan riwayat enuresis di usia 7 dan 11 tahun.
Pencegahan
Alasan terpenting untuk mengobati anak dengan enuresis adalah untuk memperbaiki hilangnya kepercayaan diri dan masalah-masalah psikologik sekunder atau masalah-masalah perilaku yang berkembang akibat enuresis.5 Pencegahan enuresis hampir sama dengan terapi perilaku yang diberikan pada anak dengan diuresis. Anak harus dibiasakan untuk buang air kecil di toilet setiap pagi hari dan didorong agar tidak terbiasa menahan kencing. Kondisi-kondisi yang membuat anak tidak nyaman untuk menggunakan toilet sedapat mungkin dihindari. Karena konstipasi dapat menjadi faktor predisposisi enuresis, pencegahannya juga dapat mencegah terjadinya enuresis. Dengan demikian, anak juga harus dibiasakan untuk buang air besar setelah makan pagi, diet kaya serat, dan tidak terbiasa menahan buang air besar. Anak harus mengurangi minum setelah makan malam sehingga anak harus dibebaskan minum pada pagi dan awal siang hari.
Kesimpulan
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol setelah mampu menahan kencing dan ke toilet sendiri minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis. Anak harus berusia 5 tahun ke atas dan mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan. Enuresis dibagi menjadi enuresis primer dan sekunder. Enuresis primer dikaitkan dengan gangguan bangun tidur, poliuria nokturnal, dan kapasitas nokturnal kandung kemih yang kurang. Sedangkan enuresis sekunder disebabkan oleh neurogenic bladder dan kelainan medula spinalis yang terkait, infeksi saluran kemih, serta adanya katup uretra posterior pada laki-laki atau ureter ektopik pada perempuan.
Dasar diagnostik enuresis mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, terutama urinalisis. Sedangkan penatalaksanaan enuresis antara lain terapi perilaku, terapi alarm, dan terapi farmakologik, yaitu desmopressin, antikolinergik, dan antidepressan trisiklik.