Latar belakang
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1 Prevalensi keseluruhan enuresis nokturnal diperkirakan sekitar 12,3% dengan enuresis derajat ringan, 2,5% dengan enuresis derajat sedang dan 3,6% dengan enuresis derajat berat.2 Kurangnya konsensus internasional dan definisi yang tidak pasti mengenai konsep, terminologi, dan klasifikasi enuresis nokturnal merupakan tantangan dalam memahami beberapa penelitian yang ditemukan di literatur. Selain itu, enuresis juga sering ditemui di masyarakat dengan berbagai persepsi dan cara pengobatannya. Dengan konsep, terminologi, dan klasifikasi yang jelas, pengobatan pasien enuresis dapat diberikan dengan tepat.
Prevalensi enuresis primer lebih tinggi pada laki-laki dan menurun sesuai dengan usia penderita. Pada usia 5 tahun, sekitar 23% anak seringkali mengompol di tempat tidur. Pada usia 7 tahun, sekitar 20% anak masih mengompol. Pada usia 10 tahun, hanya 4% anak saja yang masih mengompol. Sedangkan pada masa remaja, tepatnya di usia 18 tahun, enuresis primer hanya terjadi sekitar 1-2%. Kasus enuresis sekunder hanya mencakup 25% kasus enuresis.
Belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat enuresis tetapi anak dengan enuresis rentan untuk menimbulkan kasus penganiayaan anak oleh orang tua atau pengasuhnya pada situasi tertentu. Enuresis dapat menimbulkan morbiditas berupa stress psikososial. Selain itu, enuresis juga dihubungkan dengan adanya masalah-masalah yang cukup berat dalam keluarga. Ruam berat di perineum, genital, dan abdomen bawah juga terjadi pada pasien dengan enuresis. Ruam tersebut berpotensi menyebabkan kulit lecet dan infeksi kulit meskipun hal ini jarang terjadi.
Sayangnya, hanya sekitar 36% pasien enuresis yang datang untuk meminta pertolongan medis meskipun anak dengan enuresis ini seringkali sudah mengalami gangguan kesehatan emosional. Padahal attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau lazim dikenal dengan istilah ‘anak hiperaktif’, seringkali dikaitkan erat dengan enuresis ini. Dengan demikian, para penyandang profesi kesehatan anak harus rutin melakukan skrining terhadap ada/tidaknya enuresis dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosional anak dan keluarga.
Enuresis ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh orang tua. Adanya berbagai masalah yang terjadi secara sekunder akibat enuresis ini tidak luput dari perhatian para klinisi untuk ditangani secara medis. Berikut ini akan dipaparkan tinjauan pustaka tentang enuresis pada anak.
Terminologi, definisi dan klasifikasi
Enuresis merupakan kata dari bahasa Yunani yang berarti “membuat air”. Istilah ini digunakan sebagai istilah medis untuk mengompol, baik saat malam hari (nokturnal) maupun siang hari (diurnal).5 Istilah enuresis ini lebih sering dianggap mewakili enuresis saat tidur malam hari atau lazim disebut primary nocturnal enuresis (PNE) atau enuresis nokturnal. Enuresis nokturnal merupakan kondisi dimana anak yang sudah mampu menahan kencing saat terjaga tetapi mengompol saat tertidur.4 Sumber pustaka lainnya secara rinci menyebutkan bahwa syarat enuresis adalah anak berusia 5 tahun ke atas yang mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan.7,8 Namun, disebutkan pula bahwa PNE merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.
Untuk membedakan enuresis nokturnal dan diurnal, International Children’s Continence Society baru-baru ini mempublikasikan standardisasi terminologi enuresis. Mereka mendefinisikan enuresis sebagai segala bentuk gejala mengompol yang terjadi dalam jumlah diskret pada malam hari, terlepas apakah hal tersebut berhubungan/tidak dengan gejala mengompol di siang hari. Hal ini perlu dibedakan dengan inkontinensia yang didefinisikan sebagai kebocoran urin tak terkendali yang terjadi secara intermiten atau kontinu dan terjadi setelah status kontinensia pernah tercapai. Inkontinensia kontinu berarti kebocoran urin konstan, seperti pada anak dengan ureter ektopik atau kerusakan iatrogenik pada sfingter eksterna. Sedangkan inkontinensia intermitten adalah kebocoran urin dalam jumlah diskret selama siang, malam, atau keduanya. Bentuk inkontinensia intermitten yang terjadi minimal di malam hari inilah yang mereka istilahkan dengan enuresis. Mereka juga menyebutkan bahwa kebocoran urin yang terjadi selama siang hari tidak lagi disebut sebagai enuresis diurnal tetapi sekarang disebut sebagai inkontinensia pada siang hari. Istilah lain yang perlu dibedakan dengan enuresis adalah dysfunctional voiding dimana terdapat inkompetensi kontraksi otot untuk menahan urin dan biasanya dihubungkan dengan konstipasi. Istilah ini juga merujuk pada sindroma eliminasi disfungsional.
Berdasarkan derajat penyakit, enuresis nokturnal terbagi menjadi derajat ringan (enuresis pada 1-6 malam di bulan terakhir), derajat sedang (enuresis pada 7 malam atau lebih di bulan terakhir dan tidak setiap malam), dan derajat berat (enuresis setiap malam).2 Sedangkan berdasarkan jumlah gejala yang dikeluhkan, enuresis dapat dibagi menjadi tipe monosimptomatik dan non-monosimptomatik. Anak dengan enuresis monosimptomatik hanya mengompol di malam hari dan tidak ada gejala inkontinensia pada siang hari. Sedangkan anak dengan enuresis non-monosimptomatik mengalami inkontinensia pada siang hari selain mengompol di malam hari. Enuresis non-monosimptomatik ini lebih sering terjadi karena kebanyakan pasien biasanya pernah mengalami gejala inkontinensia pada siang hari tetapi seringkali tidak cukup bermakna (subtle) untuk dikeluhkan. Hal ini baru diketahui jika anamnesis dilakukan dengan teliti.
Berdasarkan jelas/tidaknya penyebab, enuresis juga dapat dibagi menjadi enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer didiagnosis pada individu yang belum pernah mengalami status kontinensia sejak lahir atau mengalami status kontinensia tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut.1,8 Sedangkan enuresis sekunder didiagnosis pada individu yang telah mengalami periode kontinensia minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis.1,5 Manifestasi klinis enuresis primer yang sama dengan enuresis sekunder menunjukkan adanya kesamaan patogenesis umum pada kedua jenis enuresis tersebut. Oleh karena luasnya cakupan pembahasan mengenai enuresis sekunder yang merupakan akibat atau bagian dari gambaran klinis penyakit lain, makalah tinjauan pustaka ini akan lebih banyak menitikberatkan pembahasan enuresis primer yang bersifat monosimptomatik.
Enuresis
Tidak sesuai pencarian Anda? Cari artikel yang sesuai:
Author: Sufriyana H.
Indonesian Medical Student Journal. 2010;1:7-13.
Latar belakang
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1 Prevalensi keseluruhan enuresis nokturnal diperkirakan sekitar 12,3% dengan enuresis derajat ringan, 2,5% dengan enuresis derajat sedang dan 3,6% dengan enuresis derajat berat.2 Kurangnya konsensus internasional dan definisi yang tidak pasti mengenai konsep, terminologi, dan klasifikasi enuresis nokturnal merupakan tantangan dalam memahami beberapa penelitian yang ditemukan di literatur. Selain itu, enuresis juga sering ditemui di masyarakat dengan berbagai persepsi dan cara pengobatannya. Dengan konsep, terminologi, dan klasifikasi yang jelas, pengobatan pasien enuresis dapat diberikan dengan tepat.3
Prevalensi enuresis primer lebih tinggi pada laki-laki dan menurun sesuai dengan usia penderita. Pada usia 5 tahun, sekitar 23% anak seringkali mengompol di tempat tidur. Pada usia 7 tahun, sekitar 20% anak masih mengompol. Pada usia 10 tahun, hanya 4% anak saja yang masih mengompol. Sedangkan pada masa remaja, tepatnya di usia 18 tahun, enuresis primer hanya terjadi sekitar 1-2%. Kasus enuresis sekunder hanya mencakup 25% kasus enuresis.4
Belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat enuresis tetapi anak dengan enuresis rentan untuk menimbulkan kasus penganiayaan anak oleh orang tua atau pengasuhnya pada situasi tertentu. Enuresis dapat menimbulkan morbiditas berupa stress psikososial. Selain itu, enuresis juga dihubungkan dengan adanya masalah-masalah yang cukup berat dalam keluarga. Ruam berat di perineum, genital, dan abdomen bawah juga terjadi pada pasien dengan enuresis. Ruam tersebut berpotensi menyebabkan kulit lecet dan infeksi kulit meskipun hal ini jarang terjadi.5
Sayangnya, hanya sekitar 36% pasien enuresis yang datang untuk meminta pertolongan medis meskipun anak dengan enuresis ini seringkali sudah mengalami gangguan kesehatan emosional. Padahal attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau lazim dikenal dengan istilah ‘anak hiperaktif’, seringkali dikaitkan erat dengan enuresis ini. Dengan demikian, para penyandang profesi kesehatan anak harus rutin melakukan skrining terhadap ada/tidaknya enuresis dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosional anak dan keluarga.6
Enuresis ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh orang tua. Adanya berbagai masalah yang terjadi secara sekunder akibat enuresis ini tidak luput dari perhatian para klinisi untuk ditangani secara medis. Berikut ini akan dipaparkan tinjauan pustaka tentang enuresis pada anak.
Terminologi, definisi dan klasifikasi
Enuresis merupakan kata dari bahasa Yunani yang berarti “membuat air”. Istilah ini digunakan sebagai istilah medis untuk mengompol, baik saat malam hari (nokturnal) maupun siang hari (diurnal).5 Istilah enuresis ini lebih sering dianggap mewakili enuresis saat tidur malam hari atau lazim disebut primary nocturnal enuresis (PNE) atau enuresis nokturnal. Enuresis nokturnal merupakan kondisi dimana anak yang sudah mampu menahan kencing saat terjaga tetapi mengompol saat tertidur.4 Sumber pustaka lainnya secara rinci menyebutkan bahwa syarat enuresis adalah anak berusia 5 tahun ke atas yang mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan.7,8 Namun, disebutkan pula bahwa PNE merupakan kondisi dimana anak mengompol di malam hari selama tidur saat anak seusianya sudah mampu menahan kencing atau saat anak tersebut baru bisa menahan kencing tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.1
Untuk membedakan enuresis nokturnal dan diurnal, International Children’s Continence Society baru-baru ini mempublikasikan standardisasi terminologi enuresis. Mereka mendefinisikan enuresis sebagai segala bentuk gejala mengompol yang terjadi dalam jumlah diskret pada malam hari, terlepas apakah hal tersebut berhubungan/tidak dengan gejala mengompol di siang hari. Hal ini perlu dibedakan dengan inkontinensia yang didefinisikan sebagai kebocoran urin tak terkendali yang terjadi secara intermiten atau kontinu dan terjadi setelah status kontinensia pernah tercapai. Inkontinensia kontinu berarti kebocoran urin konstan, seperti pada anak dengan ureter ektopik atau kerusakan iatrogenik pada sfingter eksterna. Sedangkan inkontinensia intermitten adalah kebocoran urin dalam jumlah diskret selama siang, malam, atau keduanya. Bentuk inkontinensia intermitten yang terjadi minimal di malam hari inilah yang mereka istilahkan dengan enuresis. Mereka juga menyebutkan bahwa kebocoran urin yang terjadi selama siang hari tidak lagi disebut sebagai enuresis diurnal tetapi sekarang disebut sebagai inkontinensia pada siang hari. Istilah lain yang perlu dibedakan dengan enuresis adalah dysfunctional voiding dimana terdapat inkompetensi kontraksi otot untuk menahan urin dan biasanya dihubungkan dengan konstipasi. Istilah ini juga merujuk pada sindroma eliminasi disfungsional.1
Berdasarkan derajat penyakit, enuresis nokturnal terbagi menjadi derajat ringan (enuresis pada 1-6 malam di bulan terakhir), derajat sedang (enuresis pada 7 malam atau lebih di bulan terakhir dan tidak setiap malam), dan derajat berat (enuresis setiap malam).2 Sedangkan berdasarkan jumlah gejala yang dikeluhkan, enuresis dapat dibagi menjadi tipe monosimptomatik dan non-monosimptomatik. Anak dengan enuresis monosimptomatik hanya mengompol di malam hari dan tidak ada gejala inkontinensia pada siang hari. Sedangkan anak dengan enuresis non-monosimptomatik mengalami inkontinensia pada siang hari selain mengompol di malam hari. Enuresis non-monosimptomatik ini lebih sering terjadi karena kebanyakan pasien biasanya pernah mengalami gejala inkontinensia pada siang hari tetapi seringkali tidak cukup bermakna (subtle) untuk dikeluhkan. Hal ini baru diketahui jika anamnesis dilakukan dengan teliti.9,10
Berdasarkan jelas/tidaknya penyebab, enuresis juga dapat dibagi menjadi enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer didiagnosis pada individu yang belum pernah mengalami status kontinensia sejak lahir atau mengalami status kontinensia tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut.1,8 Sedangkan enuresis sekunder didiagnosis pada individu yang telah mengalami periode kontinensia minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis.1,5 Manifestasi klinis enuresis primer yang sama dengan enuresis sekunder menunjukkan adanya kesamaan patogenesis umum pada kedua jenis enuresis tersebut.9 Oleh karena luasnya cakupan pembahasan mengenai enuresis sekunder yang merupakan akibat atau bagian dari gambaran klinis penyakit lain, makalah tinjauan pustaka ini akan lebih banyak menitikberatkan pembahasan enuresis primer yang bersifat monosimptomatik.
Faktor risiko, etiologi dan patofisiologi
Beberapa faktor risiko yang terbukti berkaitan dengan enuresis derajat berat adalah inkontinensia pada siang hari, enkopresis, disfungsi kandung kemih dan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan stress emosional dan masalah sosial dikaitkan dengan enuresis nokturnal derajat sedang.2 Enuresis dilaporkan terdapat pada sekitar 18,5% anak-anak yang bersekolah di siang hari dan pada sekitar 11,5% anak-anak yang ‘bersekolah’ di rumah. Prevalensi enuresis meningkat pada anak yang tinggal di desa, dengan pendapatan rendah dan dengan riwayat keluarga enuresis. Setelah dilakukan analisis multivariat, riwayat infeksi saluran kemih, usia, pendapatan bulanan rendah dan riwayat keluarga enuresis adalah faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan enuresis. Sekitar 46,4% orang tua dan 57,1% anak dengan enuresis memberikan perhatiannya terhadap dampak dari enuresis ini.
Seorang dokter harus menyadari bahwa PNE adalah diagnosis ‘keranjang sampah’ dan semua penyebab mengompol yang lain harus disingkirkan terlebih dahulu. Penyebab-penyebab enuresis sekunder antara lain neurogenic bladder dan kelainan medula spinalis lain yang terkait, infeksi saluran kemih, adanya katup uretra posterior pada laki-laki atau ureter ektopik pada perempuan.
Tabe,l Etiologi primary nocturnal enuresis
Faktor | Patofisiologi | Bukti penelitian |
Penundaan perkembangan | Penundaan maturasi fungsi sistem saraf pusat yang menyebabkan gangguan bangun tidur | Tinggi angka remisi spontan ketika anak semakin dewasa, penelitian pada hewan. |
Genetik | Tidak jelas | Riwayat keluarga, identifikasi gen, analisis hubungannya |
Gangguan tidur | Tidur dalam | Penelitian tentang tidur |
Gangguan perilaku dan psikologik | Tidak jelas | Lebih dominan sebagai akibat daripada sebagai penyebab |
Anatomi | Tidak ditemukan | Anak dengan primary nocturnal enuresis memiliki pemeriksaan fisik yang normal |
Kadar hormon antidiuretik | Kadarnya rendah saat malam hari pada anak dengan primary nocturnal enuresis yang menyebabkan overproduksi urin | Penelitian tentang hormonal. |
Enuresis dapat terjadi tanpa sebab yang jelas atau idiopatik. Jika hal ini didapati, faktor patofisiologik yang patut diduga adalah gangguan bangun tidur, poliuria nokturnal, dan kapasitas nokturnal kandung kemih yang kurang. Gangguan bangun tidur adalah kondisi dimana anak tidak terbangun oleh rangsang suara yang biasanya direspon oleh anak normal, sehingga pada kasus enuresis, diduga anak tidak terbangun oleh distensi kandung kemih oleh urin. Sedangkan poliuria nokturnal adalah buang air kecil berlebihan pada malam hari yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti jumlah makanan/cairan yang dikonsumsi sebelum tidur, sekresi antidiuretic hormone (ADH) yang rendah pada malam hari, peningkatan ekskresi cairan pada malam hari, dan kelebihan asupan kafein. Sedangkan kapasitas fungsional kandung kemih yang rendah dikaitkan dengan dengan banyaknya keluaran urin pada malam hari. Hal in terjadi karena anak dengan enuresis memiliki volume kandung kemih nokturnal yang lebih kecil. Selain itu, otot detrusor anak juga mengontraksikan kandung kemih ke volume yang lebih kecil lagi pada malam hari.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Evaluasi enuresis nokturnal dimulai dengan anamnesis. Penting untuk menentukan apakah enuresis merupakan primer atau sekunder. Pola enuresis juga harus ditentukan, yaitu mencakup berapa malam per minggu dan berapa kali (episode) per malam. Pola asupan cairan malam hari harus dicatat, demikian pula asupan kafein jika ada.
Tabel 2. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta interpretasinya.9
Gejala, tanda, kondisi | Interpretasi yang mungkin | Rujukan ke dokter spesialis |
Sering buang air kecil | Penurunan kapasitas kandung kemih | Ya |
Nokturia | Penurunan kapasitas kandung kemih | Ya |
Urgensi urinaria | | Ya |
Inkontinensia di siang hari | | Ya |
Kelainan aliran kemih atau interuptus | | Ya |
Urin merembes pada popok | Poliuria nokturnal | Tidak |
Urin volume besar pada buang air kecil pertama pagi hari | Poliuria nokturnal | Tidak |
Asupan air siang hari sedikit, haus saat pulang sekolah, mayoritas asupan air pada sore atau malam hari | Poliuria nokturnal | Tidak |
Haus, poliuria | Poliuria nokturnal, kemungkinan diabetes melitus atau diabetes insipidus | Tidak |
Sistitis | Penurunan kapasitas kandung kemih | Ya |
Konstipasi atau enkopresis | Penurunan kapasitas kandung kemih | Ya |
Mendengkur | Gangguan bangun tidur | Ya |
Tinja keras di abdomen | Konstipasi | Ya |
Tidak adanya jepitan anus | Neurogenic bladder | Ya |
Kelainan kulit lain di daerah vertebra lumbosakral | Neurogenic bladder | Ya |
Tidak ada perbaikan dengan terapi | | Ya |
Anamnesis harus mencakup pertanyaan mengenai poliuria, polidipsia, urgensi, frekuensi, disuria, kelainan aliran urin, riwayat infeksi saluran kemih, mengompol spontan, dan keluhan saluran cerna (15% anak dengan enuresis juga mengalami enkopresis). Riwayat gangguan tidur seperti sleep apnea atau insomnia dan riwayat neurologik maupun perkembangan harus ditanyakan. Riwayat keluarga juga membantu investigasi enuresis.
Pemeriksaan fisik harus mencakup palpasi abdomen untuk menilai ada/tidaknya massa tinja, pemeriksaan tulang belakang segmen bawah untuk menilai ada/tidaknya stigmata kutaneus disrafisme spinalis (pigmentasi pada linea vertebralis), penilaian jepitan anus, dan evaluasi kekuatan motorik, tonus, refleks, dan sensasi di tungkai untuk membuktikan ada/tidaknya neurogenic bladder. Anak-anak yang mengalami gejala mengompol di siang hari atau tidak membaik dengan terapi harus dirujuk ke dokter spesialis anak
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis adalah pemeriksaan yang paling penting untuk skrining anak dengan enuresis. Anak-anak dengan sistitis biasanya memiliki bukti adanya leukosit atau bakteri pada urinalisis mikroskopik. Anak-anak dengan overactive bladder atau dysfunctional voiding, obstruksi uretra, neurogenic bladder, ureter ektopik, atau diabetes melitus merupakan predisposisi terjadinya sistitis. Jika ditemukan bukti sistitis pada urinalisis, urin harus dikirim untuk kultur dan uji sensitifitas. Obstruksi uretra dihubungkan dengan adanya sel darah merah pada urin. Adanya glukosa menunjukkan kemungkinan diabetes melitus. Pengambilan urin acak atau urin pagi hari dengan berat jenis lebih dari 1,020 menyingkirkan diabetes insipidus. Pemeriksaan darah pada pasien enuresis biasanya tidak dibutuhkan kecuali dicurigai ada kondisi lain yang menjadi indikasi pemeriksaan tersebut.
Penatalaksanaan
Terapi perilaku (behavioral therapy) merupakan salah satu terapi yang disarankan untuk pasien enuresis. Pada terapi ini, anak dibiasakan untuk buang air kecil lebih sering dan terjadwal serta membiasakan anak untuk buang air besar setelah sarapan pagi. Hal ini tentu memerlukan motivasi terus-menerus dan dievaluasi setiap 6 bulan. Anak juga dapat diajarkan untuk belajar merelaksasi kandung kemih dan dasar pelvisnya.10
Pada sebuah penelitian tanpa kontrol, keberhasilan dalam menangani konstipasi, tanpa adanya intervensi lain, menyebabkan resolusi enuresis pada 63% dari 41 pasien. Obat yang mampu melunakkan tinja membantu meningkatkan keteraturan peristaltik untuk mengoptimalkan pengosongan usus. Pemberian polietilen glikol, yang tidak berasa bagi hampir semua anak dan memiliki efek samping yang minimal, merupakan cara yang efektif mengatasi konstipasi dibandingkan dengan placebo.
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan terapi perilaku.9
Lepaskan celana dalam dan kondisikan anak untuk buang air kecil di toilet setiap pagi hari. |
Dorong anak untuk tidak menahan kencing. |
Kerjasama dengan pihak sekolah untuk menyediakan toilet yang nyaman digunakan oleh anak. |
Dorong anak untuk buang air besar setiap hari, terutama setelah makan pagi dan sebelum berangkat sekolah. |
Dorong anak makan makanan yang melunakkan tinja dan mencegah makanan yang mengeraskan tinja. |
Dorong anak untuk buang air kecil minimal sekali per 2 jam, minimal beberapa kali selama hari sekolah, dan cukup sering untuk mencegah urgensi dan inkontinensia. |
Biarkan anak minum air sebebasnya selama pagi dan awal siang hari, minimal total 30 mL per kg berat badan. |
Minimalisir asupan air dan minuman setelah makan malam kecuali anak ikut aktifitas sosial atau olahraga di malam hari. |
Dorong anak mengimbangkan aktifitas fisik dan mengurangi duduk lama di depan televisi atau komputer. |
Buat anak berada dalam posisi duduk/jongkok yang optimal di toilet untuk merelaksasikan otot dasar panggul dan mempermudah pengosongan usus (duduk di tengah toilet dengan tumit rata di lantai atau di pijakan kaki). |
Keterangan:
Rekomendasi berdasarkan pengalaman klinis, bukan rendomized trials.
Rekomendasi berdasarkan penelitian Nevéus et al.
Terapi alarm adalah alternatif lain untuk pengobatan enuresis. Dengan terapi ini, anak dibangunkan tepat pada saat dimana dia akan buang air kecil. Terapi alarm ditujukan untuk memperbaiki kemampuan bangun dari tidur baik oleh kondisi klasik atau pengaruh lainnya.9 Terapi alarm seringkali dapat menghentikan enuresis tetapi anak-anak masih berkemungkinan mengalami penurunan kapasitas kandung kemih yang membuat anak bangun malam hari. Pendekatan terapeutik ini memerlukan waktu 3-6 bulan untuk bekerja dan sekitar 50% anak tidak enuresis lagi bahkan setelah terapi dihentikan.
Tabel 4. Rekomendasi penggunaan terapi alarm.
Gunakan sebagai terapi lini pertama sebelum meresepkan obat-obatan. |
Lanjutkan terapi minimal 2-3 bulan. |
Bangunkan anak dengan alarm setiap malam. |
Dorong anak dan orang tua untuk ikut serta. |
Karena anak-anak dengan cepat belajar untuk mematikan alarm dan kembali tidur, orang tua harus ikut terbangun setiap alarm berbunyi untuk memastikan anak tidak melakukannya. |
Buat anak ke kamar mandi dan buang air kecil setiap alarm berbunyi. |
Informasikan keluarga bahwa beberapa minggu pertama terapi adalah masa paling sulit, susun jadwal follow up lebih dini untuk mengawasi perkembangan dan mengatasi masalah lainnya. |
Informasikan keluarga bahwa kegagalan anak untuk bangun atau orang tua untuk membangunkan anak adalah alasan paling sering terjadinya kegagalan terapi alarm. |
Keterangan: rekomendasi didapatkan dari Glazener et al. Terapi ini efektif pada ? anak (4-55% relaps).
Terapi farmakologik terdiri atas desmopressin, antikolinergik, dan antidepressan trisiklik. Desmopressin dapat mengurangi poliuria nokturnal. Sediaannya yang dalam bentuk sprai nasal memiliki waktu paruh yang panjang sehingga perlu diwaspadai kemungkinan intoksikasi air dan hiponatremia. Formulasi oral lebih aman digunakan dengan waktu paruh yang pendek. Anak-anak memerlukan pembatasan cairan sebelum tidur ketika menggunakan obat ini. Obat ini tidak dapat menambah kapasitas kandung kemih.10
Antikolinergik dapat menjaga stabilitas dan meningkatkan kapasitas kandung kemih. Penggunaan antikolinergik akan bermanfaat jika dikombinasikan dengan desmopressin. Anak-anak dengan pengobatan ini harus konsultasi ke dokter lebih rutin karena kemungkinan efek samping penggunaannya. Antidepressan trisiklik (contohnya, imipramin) hanya digunakan ketika terapi lain gagal. Perubahan afek dan gangguan tidur sering terjadi pada pasien enuresis. Antidepressan trisiklik juga dapat membawa risiko kematian akibat overdosis dan bekerja hanya pada 20% kasus.
Tabel 5. Rekomendasi penggunaan terapi farmakologik.
Karakteristik | Desmopressin | Agen antikolinergik | Imipramin dan agen trisiklik lainnya |
Evidence-based | Ya | Tidak | Ya |
Mekanisme | Mengurangi poliuria nokturnal | Meningkatkan kapasitas kandung kemih, menurunkan overaktifitas detrusor | Tidak jelas |
Pertimbangan | Gunakan sebagai lini pertama terapi farmakologik, pertimbangkan untuk situasi tertentu (berkemah, dll) | Gunakan sebagai lini kedua terapi farmakologik untuk anak-anak yang tidak berespon terhadap lini pertama, pertimbangkan untuk dikombinasi dengan desmopresin | Gunakan hanya sebagai lini ketiga terapi farmakologik ketika semua pilihan terapi gagal |
Efikasi | Mengompol berhenti pada 3-48% subjek penelitian, bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti | Bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti | Mengompol berhenti pada 20% subjek penelitian, bekerja sebagai pengontrol bukan penyembuh, dapat relaps setelah pengobatan berhenti |
Dosis | Tablet: 200-600 µg 1 jam sebelum tidur; Formulasi cepat larut: 120-360 µg 30-60 menit sebelum tidur (pertimbangkan sediaan ini untuk anak yang sulit menelan tablet) | Tablet atau sirup oksibutinin: 5 mg atau 0,1 mg/kg sebelum tidur; tablet tolterodine: 2 mg sebelum tidur | Tablet: 25-50 mg sebelum tidur, tidak lebih dari 75 mg sebelum tidur |
Efek samping | Intoksikasi air disertai sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, kejang; formulasi nasal-spray dengan label peringatan kotak hitam dibuat karena peningkatan risiko intoksikasi air, tidak direkomendasikan | Konstipasi, mulut kering, mata kabur, muka memerah, intoleransi panas, perubahan afek, peningkatan residu urin | Perubahan afek, mual, gangguan tidur, kardiotoksik dengan potensi kematian akibat overdosis, obat harus disimpan dengan baik, jauhkan dari jangkauan anak-anak |
Interaksi obat | NSAIDs dan antidepressan dapat menyebabkan tambahan retensi cairan | | |
Desmopressin memang telah diterima sebagai terapi medikamentosa untuk terapi enuresis nokturnal primer yang monosimptomatik. Namun, beberapa pasien ditemukan tidak berespon terhadap terapi ini. Pada pasien ini, dapat diberikan alternatif kombinasi desmopressin dan terapi antikolinergik. Untuk menguji efikasi kombinasi ini, Austin et al melakukan penelitian mengenai hasil akhir atas kombinasi terapi ini. Setelah 1 bulan terapi, terdapat penurunan signifikan angka rata-rata terjadinya enuresis pada kelompok subjek yang mendapat kombinasi terapi dibandingkan plasebo. Dengan pendekatan rumus, diperkirakan adanya penurunan signifikan 66% risiko enuresis dibandingkan dengan plasebo.
Radmayr et al melakukan penelitian terhadap 36 penelitian acak atas 20 anak berusia antara 5 dan 16 tahun yang mendapat terapi akupunktur atau desmopressin saja dan melakukan evaluasi setelah 6 bulan terapi. Sekitar 75% dan 65% pasien tidak lagi mengalami enuresis. Tidak adanya perbedaan signifikan di antara kedua modalitas terapi pada penelitian ini menunjukkan bahwa akupunktur dapat menjadi alternatif terapi. Akupunktur diduga memicu perubahan homeostatik dengan menguatkan chi ginjal dan limpa serta meregulasi otak. Namun, peneliti tidak menyebutkan secara jelas bagaimana mekanisme yang rinci mengenai penguatan ginjal dan limpa serta regulasi otak ini. Sayangnya, penelitian yang mendukung efektifitas akupunktur pada pasien enuresis dilakukan dengan jumlah subjek penelitian yang sedikit dan desain penelitiannya tidak menggunakan kontrol sehingga sulit untuk menarik kesimpulan apakah akupunktur dapat direkomendasikan pada pasien enuresis.
Komplikasi dan prognosis
Pada enuresis primer, masalah psikologis hampir selalu menjadi akibat dari penyakit ini dan jarang sekali sebagai penyebabnya. Sebaliknya, masalah psikologis merupakan penyebab yang mungkin didapati pada enuresis sekunder. Komorbiditas masalah perilaku adalah 2-4 kali lebih tinggi pada anak dengan enuresis di semua penelitian epidemiologik. Dampak emosional enuresis pada anak dan keluarga juga dapat terjadi.5
Anak-anak dengan enuresis lebih sering dihukum dan berisiko mengalami perlakuan kasar secara fisik dan emosional. Beberapa penelitian melaporkan adanya perasaan malu dan kecemasan pada anak-anak dengan enuresis, kehilangan kepercayaan diri dan berpengaruh terhadap persepsi diri, hubungan interpersonal, kualitas hidup, dan prestasi di sekolah. Dampak negatif yang signifikan pada kepercayaan diri dilaporkan bahkan pada anak dengan episode enuresis satu kali per bulan saja.5 Sebuah penelitian potong lintang (cross-sectional study) dilakukan terhadap 149 pasien berusia antara 6 dan 18 tahun yang didiagnosis enuresis nokturnal primer monosimptomatik. Delapan puluh sembilan persen (n=132) pasien mengalami kekerasan akibat mengompol. Semua kasus ditandai oleh adanya hukuman verbal (caci maki) yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan tipe agresi. Hukuman fisik tanpa kontak terjadi pada 50,8% kasus sedangkan hukuman fisik yang disertai kontak terjadi pada 48,5% kasus. Pelaku utama kekerasan adalah ibunya sendiri (87,9%). Terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan pelaku dan beratnya hukuman.15
Tingkat kesembuhan spontan untuk anak-anak yang tidak diobati adalah 15% per tahun. Ketika enuresis merupakan satu-satunya gejala yang dikeluhkan, terapi perilaku atau terapi alarm dapat bersifat kuratif untuk masalah ini. Desmopressin asetat dapat mengendalikan enuresis pada 55% anak. Ketika gejala ini juga terjadi pada siang hari, prognosisnya akan bergantung pada penyebab yang mendasarinya. Prognosisnya sempurna jika enuresis terjadi akibat sistitis, ureter ektopik, apneu obstruktif saat tidur, diabetes melitus, diabetes insipidus, penyakit dengan gejala kejang, blok jantung, atau hipertiroidisme. Enuresis akibat sistitis harus diatasi dengan terapi antibiotik yang tepat. Sedangkan ureter ektopik, apneu obstruktif saat tidur, dan blok jantung berespon terhadap intervensi bedah.
Tabel 6. Prevalensi kesulitan koordinasi motorik anak dengan enuresis.
Penilaian guru terhadap koordinasi anak | Enuresis sebelum usia 7 tahun | Enuresis pada usia 11 tahun | Tidak ada masalah enuresis |
Di usia 7 tahun: | 1.035 anak | 540 anak | 10.084 anak |
Kendali tangan buruk | 6,4 % | 10,2 % | 3,5 % |
Gaduh gelisah | 9,8 % | 15,4 % | 5,6 % |
Koordinasi buruk | 4,4 % | 5,2 % | 2,0 % |
Gemetaran | 2,9 % | 3,9 % | 1,8 % |
Di usia 11 tahun: | 972 anak | 509 anak | 9.423 anak |
Kendali tangan buruk | 4,2 % | 6,1 % | 2,4 % |
Gaduh gelisah | 5,1 % | 8,3 % | 3,3 % |
Koordinasi fisik buruk | 4,0 % | 4,6 % | 2,2 % |
Diabetes mellitus, diabetes insipidus, dan hipertiroidisme berespon terhadap intervensi medikamentosa yang spesifik. Enuresis akibat overactive bladder atau dysfunctional voiding biasanya dapat teratasi tetapi inkotinensia pada siang hari dapat berlanjut hingga masa pubertas dan dewasa pada sekitar 20% pasien. Prognosis enuresis akibat neurogenic bladder tergantung pada penyebab neurologik dan apakah pasien dapat menjalani pembedahan atau tidak.5 Enuresis di masa kecil berhubungan dengan timbulnya gejala sisa di usia dewasa, contohnya dalam hal fungsi sosial, pencapaian pendidikan, dan eksistensi diri secara psikologik. Sebuah penelitian menunjukkan penundaan perkembangan koordinasi motorik pada anak dengan riwayat enuresis di usia 7 dan 11 tahun.
Pencegahan
Alasan terpenting untuk mengobati anak dengan enuresis adalah untuk memperbaiki hilangnya kepercayaan diri dan masalah-masalah psikologik sekunder atau masalah-masalah perilaku yang berkembang akibat enuresis.5 Pencegahan enuresis hampir sama dengan terapi perilaku yang diberikan pada anak dengan diuresis. Anak harus dibiasakan untuk buang air kecil di toilet setiap pagi hari dan didorong agar tidak terbiasa menahan kencing. Kondisi-kondisi yang membuat anak tidak nyaman untuk menggunakan toilet sedapat mungkin dihindari. Karena konstipasi dapat menjadi faktor predisposisi enuresis, pencegahannya juga dapat mencegah terjadinya enuresis. Dengan demikian, anak juga harus dibiasakan untuk buang air besar setelah makan pagi, diet kaya serat, dan tidak terbiasa menahan buang air besar. Anak harus mengurangi minum setelah makan malam sehingga anak harus dibebaskan minum pada pagi dan awal siang hari.
Kesimpulan
Enuresis merupakan kondisi dimana anak mengompol setelah mampu menahan kencing dan ke toilet sendiri minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis. Anak harus berusia 5 tahun ke atas dan mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu selama minimal 3 bulan. Enuresis dibagi menjadi enuresis primer dan sekunder. Enuresis primer dikaitkan dengan gangguan bangun tidur, poliuria nokturnal, dan kapasitas nokturnal kandung kemih yang kurang. Sedangkan enuresis sekunder disebabkan oleh neurogenic bladder dan kelainan medula spinalis yang terkait, infeksi saluran kemih, serta adanya katup uretra posterior pada laki-laki atau ureter ektopik pada perempuan.
Dasar diagnostik enuresis mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, terutama urinalisis. Sedangkan penatalaksanaan enuresis antara lain terapi perilaku, terapi alarm, dan terapi farmakologik, yaitu desmopressin, antikolinergik, dan antidepressan trisiklik.
http://imsj.globalkrching.com/enuresis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar