Minggu, 25 April 2010

Autisme dan Epilepsi

Penyandang Autisme memiliki resiko lebih besar untuk mengalami epilepsi dibanding anak yang tidak. Sebanyak 46% anak autis juga mengalami epilepsi. Sedangkan resiko pada anak yang bukan autisme adalah 1-2%. Sebaliknya anak yang mengalami epiliepsi tertentu sering diikuti gejala autisme. Demikian dikemukakan oleh Dr Hardiono D Pusponegoro, Spa(K) saat seminar “Epilepsi pada Remaja Autistik” di Graha Sucofindo, Sabtu (17/4). Penyebab eratnya hubungan antara autisme dengan epilepsi, ada kaitan antara gangguan otak pada autisme. Kejang pertsms paling sering terjadi pada umur 3-7 tahun. Mereka lebih sering mengalami gangguan motorik, keterlambatan perkembangan dan ganguan perilaku. Pada anak remaja, pengaruh faktor hormon menyebabkan pengobatan epilepsi menjadi lebih sulit. Remaja wanita dengan epilepsi sering memerluakn penambahan dosis obat saat menstruasi. Selain itu, anak remaja dapat terpengaruh berbagai stigma mengenai epilepsi dan menunjukkan kualitas kehidupan yang kurang. Kejang adalah perubahan sementara dan tidak terkontrol dari kesadaran, perilaku, aktifitas motorik, sensasi, atau fungsi otonom. Disebabkan oleh aktifitas listrik sel saraf otak yang berlebihan. Kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit dianggap sebagai kejang lama, sedangkan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit disebut sebagai status epiliptikus. “Kejang sebentar tidak menyebabkan kerusakan otak. Tapi, kejang yang leboh dari 15 menit dan status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap,” ujarnya.

Dia menambahkan, kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat anak demam, pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun. Kejang demam yang terjadi pada 2-5% anak. Kejang demam berlangsung sebentar (kurang dari 15 menit), kejangnya umum, dan tidak berulang dalam satu hari. Kejang demam bukan merupakan epilepsi, biasanya tidak menimbulkan bahaya apa pun, dan tidak berhubungan dengan autisme. “Kejang demam biasanya akan hilang sendiri. Tidak pernah ada ceritanya lidah putus gara-gara kejang. Yang ada jari ibunya berdarah-darah dan hampir putus gara-gara jari ibunya dimasukkan ke mulut anaknya, ” kata Dr Hardiono. Justru yang diwaspadai, jika seseorang anak mengalami kejang tanpa demam. Jika kejang itu untuk pertama kalinya disebut sebagai kejang spontan (first unprovokked seizure). Kadang sulit untuk menentukan apakah kejang pertama ini benar merupakan suatu kejang atau disebabkan oleh hal—hal lain yang mirip kejang. Serangan kejang tanpa sebab sebanyak satu kali belum disebut sebagai epilepsi. Tapi jika sudah mengalami 2x kejang tanpa sebab, baru disebut epilepsi. Suatu penelitian melaporkan bahwa anak yang mengalami first unprovokked seizure tahun pertama kehidupan mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami autisme di kemudian hari. Epilepsi dapat terlihat sebagai bangkitan kejang umum seluruh tubuh, atau bangkitan kejang parsial satu sisa tubuh saja. Jika seorang anak telah mengalami kejang tanpa sebab 2x atau lebih, dokter akan melakukna pemeriksaan electroencepalography (EEG) untuk mengetahui aktifitas sel saraf otak. Untuk kejang spontan, belum memerluka pengobagtan, kecuali jika kejang pertama itu merupakan hal yang berbahaya, misalnya kejang lama dan status epiliptikus

Warta kota, 25 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar